KINGGARUDA138 – Cerita Evan Dimas Darmono: Sepi dari Gemerlap Liga, Menyalakan Pelita dari Tulungagung

Cerita Evan Dimas Darmono: Sepi dari Gemerlap Liga, Menyalakan Pelita dari Tulungagung

Evan Dimas ketika berada di Sanggar Seni Saraswati Tulungagung (c) Afdholud Dzikri

Bola.net – Dulu, namanya dielu-elukan seantero negeri. Evan Dimas, playmaker elegan nan visioner, yang pernah menggetarkan jantung publik sepak bola Indonesia dengan golnya ke gawang Korea Selatan di Kualifikasi Piala Asia U-19 2014.

Tapi kini, tidak ada lagi sorak-sorai di stadion besar atau sorotan kamera saat ia menggocek lawan. Sejak putaran kedua BRI Liga 1 2024/2025, Evan tak lagi tergabung dengan klub mana pun. Persik Kediri melepasnya, dan sejak itu, pria asal Surabaya itu memilih ‘menepi’ ke Tulungagung.

Namun, ini bukan cerita tentang akhir. Ini adalah tentang awal yang baru, tentang seorang maestro lapangan hijau yang tengah menyusun babak baru dalam hidupnya, bukan sebagai pemain, melainkan sebagai pendidik sepak bola.

Evan Dimas tak mau ambil pusing dengan komentar orang tentang jalan yang diambil. Bahkan, terkait komentar warganet yang menyoroti tubuhnya yang dinilai kurus, Evan Dimas punya cara pandang sendiri dan enggan banyak berpolemik.

“Orang saya di sini tidak ngapa-ngapain dan tidak kenapa-kenapa karena saya tidak sakit,” kata Evan, menanggapi komentar netizen yang menyebut tubuhnya kini tampak lebih kurus. Ia memang tak lagi menjalani latihan keras seperti saat aktif bermain.


1 dari 3 halaman

Tulungagung dan Sanggar Seni Sarasawati, Rumah Baru Evan Dimas

Tulungagung dan Sanggar Seni Sarasawati, Rumah Baru Evan Dimas

Evan Dimas ketika berada di Sanggar Seni Saraswati Tulungagung (c) Afdholud Dzikri

Kini, Evan Dimas lebih banyak melatih, dan tentu saja, intensitas latihan fisik yang ia jalani pun berbeda. “Waktu masih bermain, saya merasa lebih lincah saat saya kurus. Setiap pemain kan yang tahu tubuhnya,” ujarnya dengan nada tenang namun percaya diri.

Kurus bukan berarti lesu. Di balik tubuh yang mengecil itu, Evan menyimpan bara semangat yang sedang menyala pelan-pelan di sebuah lapangan kecil milik Sanggar Seni Saraswati Tulungagung. Di sana, Evan mendirikan Sekolah Sepak Bola (SSB) Saraswati, tempatnya sekarang menuangkan cinta lama yang tak pernah padam pada sepak bola.

SSB Saraswati kini memiliki sekitar 20 murid. Tidak banyak memang, tapi ini soal inisiatif, bukan kuantitas. Apalagi, bagi Evan, ini adalah titik awal untuk membangun sesuatu yang lebih besar. Saat masih aktif sebagai pemain, Evan mengaku tak bisa fokus mengelola SSB.

Kini, dengan seluruh waktunya, ia menata ulang semuanya. “Sekarang benar-benar bisa memutuskan total di sini, untuk benar terstruktur dan rapi,” katanya.

Latihan digelar tiga kali sepekan: Kamis, Jumat, dan Sabtu. Di sela-sela itu, Evan tak hanya melatih teknik dasar atau strategi permainan. Ia ingin lebih dalam dari itu: mendidik karakter, membentuk etika, membangkitkan kembali semangat sepak bola di Tulungagung, tanah yang pernah melahirkan legenda, legenda seperti Yongki Aribowo dan Singgih Pitono.

2 dari 3 halaman

Filosofi Sepak Bola sebagai Seni

Filosofi Sepak Bola sebagai Seni

Evan Dimas ketika berada di Sanggar Seni Saraswati Tulungagung (c) Afdholud Dzikri

Yang membuat SSB Saraswati istimewa bukan hanya karena sosok Evan Dimas di baliknya, tapi juga karena filosofi baru yang ia bawa. Sepak bola, baginya, bukan hanya soal menang atau strategi, tapi soal keindahan. “Kalau sepak bola hanya gabruk-gabruk kasar, kan tidak enak ditonton,” ujarnya.

Maka, ia pun membawa sesuatu yang tak lazim ke lapangan: seni tari. “Dari seni tari, saya bisa belajar seperti apa formasi dan gerakan. Saya memang tidak tahu tari, tetapi kadang saya memperhatikan adik-adik tari dari Sanggar Saraswati dan merasa ternyata ada unsur-unsur yang bisa dimasukkan dalam sepak bola,” ujarnya antusias.

Ia menyebut contoh konkret: gerakan Reog Kendang, tarian khas Tulungagung yang berputar memukul kendang, ia asosiasikan dengan rondo dalam sepak bola, latihan mengoper bola dalam tekanan.

Evan menyebut Brasil sebagai inspirasi. Di negeri Samba, sepak bola dan tari menyatu. Lalu kenapa tidak di Indonesia? “Sepak bola adalah seni. Yang tidak asal gabruk-gabruk dan bermain kasar,” kata pemain jebolan kompetisi internal Persebaya Surabaya itu.

3 dari 3 halaman

Titik Balik Seorang Evan Dimas

Titik Balik Seorang Evan Dimas

Evan Dimas ketika melatih di SSB Saraswati Tulungagung (c) Afdholud Dzikri

Dalam senyap Tulungagung, Evan Dimas menemukan suara baru. Ia bukan lagi jenderal lapangan tengah yang mengatur tempo permainan dari balik garis tengah. Ia kini berdiri di tepi lapangan, memberi aba-aba kepada anak-anak kecil yang suatu hari mungkin akan menjadi penerusnya.

Ini adalah fase baru dari seorang Evan Dimas. Tak lagi memburu trofi atau kontrak besar, tapi mencetak generasi baru yang bermain dengan hati, kepala, dan rasa. Sepak bola yang bukan hanya kompetisi, tapi juga ekspresi.

“Sejauh itu saya belum kepikiran (untuk kembali bermain). Saya lebih menikmati apa yang saya jalankan sekarang. Kalau rencana kedepan nanti saja, yang penting hari demi hari saya lakukan dengan baik karena usia saya di kepelatihan sangat muda,” kata Evan Dimas.

More From Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *